Oleh: Rien Sd
Saya terjatuh ke dalamnya,
menguak langsir di celah kelangkang,
menutupi segala kebohongan dengan pujangga yang rangkap-rangkapnya sekemas rima,
sebatang sungai kecil yang mengalir di alur pemikiran,
merembes di tebing perasaan yang
tergusur banyak kekunci musik menyusur,
dari buluh kegundahan lalu menyumbat rebungnya.
Sesekali penyair itu hanyir,
jampi serapahnya basi tak lut disua ke mulut,
ia menjaga rima bagai bersimpuh mentadabbur syair Fansuri,
terkinja-kinja bermetafora lagak Rumi dan tari sufi,
tak perlu Ghazali menyeru Walad,
dalam risalah klasiknya,
cukup melihat gagalnya pemujangga,
yang meneropong hakikat semua,
bersilat mengaku wujudnya,
tapi menafi syuhud semua.
Tinggalkanlah mereka,
bakar kelambu yang bertimbun buku kuning syair-syair lama,
susunan khat jawi tiada baris,
tanam semuanya pada tanah yang terpijak,
bukan satu pekerjaan kabir,
ketika pujangga itu memujuk,
bukan mengocak.