Oleh: Jiji Vsop
“Seorang nakhoda pertama-tama mengandalkan angin, kedua kompas, ketiga bintang, dan keempat arus (Pa’ Syaripudding)
Apabila membicarakan orang Bugis, sudah pasti mereka juga merupakan salah satu masyarakat yang tersohor dalam navigasi ini di Asia Tenggara. Apa yang menarik tentang orang Bugis ini ialah mereka ini juga mempunyai banyak pengetahuan dan empirikal yang banyak dalam navigasi ini. Pada jabarnya, ‘Navigasi Bugis’ di sini merujuk kepada ilmu mengemudi pada sebuah haluan di perairan.
Membaca risalah Navigasi Bugis, dirasakan menjadi sebuah bacaan yang cukup baik dan membuatkan saya berdiri ketika membacanya. Risalah yang saya cermati ini buat saya mengisi masa lapang waktu PKP. Justeru, Gene Ammarell melakukan penelitian etnografi ini selama 17 bulan, pada tahun 1991-1992. Penelitian lapangan ini dilakukan di Sulawesi Selatan dan di atas perahu yang melintasi laut Flores dan Banda.
Namun, ingin saya mengesyorkan sebuah lagi risalah yang saya kagumi dan cukup menarik, bisa membuat pembaca ingin mengetahui satu tatanan sosial, konteks budaya dan historis dalam navigasi Bugis, serta kupasan-kupasan yang radikal, otentik, dan inti-inti ilmu perairan oleh orang Bugis itu sendiri yang cukup sistematik sebermula dari sejarah Navigasi Bugis.
Secara ringkas, buku yang setebal 327 halaman ini, menjadi satu gelora-gelora landasan sejarah yang gemilang dan memuncak dengan sejarah yang cukup besar terdapat dalam risalah ini. Segala risalah, dokumen, naskah lontara, cerita-cerita rakyat di Sulawesi pastinya berjiwa radikal, bertenaga, berjiwa, dan sistematik.
Paradigma-paradigma di dalam risalah ini mempersembahkan orang Bugis, yang pada dasarnya masyhur dalam perairan. Dalam navigasi Bugis ini, angin juga merupakan satu tatanan simbolik, bagi para pelaut Bugis serta keluarganya. Pada jabarnya, angin ini merupakan satu komponen yang penting dalam pelayaran kerana menentukan jalur perahu.
Mauduk seterusnya, dalam navigasi juga pengetahuan akan angin juga diterapkan ketika melakukan tindak balas navigasi. Jargon dalam navigasi yakni bilu’ Maju (menghadap angin) dan turu’ belok (ikut arah angin) yang merupakan bahasa Makassar. Malahan, jargon ini juga berhubungan dengan kata-kata bahasa Melayu yakni ‘belok’ mengubah arah gerak dan ‘turut’atau ikut.
Pada hemat saya, kebanyakan pelaut Bugis yang bergenerasi muda ini sahaja yang menggunakan kompas magnet ini walaupun pada dasarnya mereka ini sudah lama mengenal kompas tersebut. Kompas laut ini juga menjadi satu tatanan simbolik bagi pelaut, meskipun sudah rosak. Hal ini demikian kerana, nilai harga kompas tersebut mahal dan dipamerkan secara menonjol di atas perahu. Justifikasinya, pada tahun 1962, perundangan-perundangan Indonesia mengharuskan perahu layar ini yang bermuatan 50-meter harus membawa kompas.
Melalui empirikal penulis itu sendiri, walaupun mereka ini kurang merujuk peta laut, para nakhoda yang mempunyai pengalaman yang banyak, boleh menunjukkan lokasi mereka pada bila-bila masa sekiranya saya memintanya. Tambahan pula, sepanjang laluan yang dikenali, semiologi daratan juga merupakan satu tatanan simbolik di mana mengambil peranan yang penting untuk memberikan data menentukan posisi di peta laut.
Kita dapat menyaksikan betapa simbol-simbol kosmologi juga merupakan salah satu aspek yang yang penting bagi nakhoda Bugis. Simbol ini juga kita dapat cermati melalui bintang, ombak dan laut dalam kalangan orang Bugis itu sendiri. Jika ditelusuri mengenai simbol-simbol kosmos ini seperti bintang ia digunakan untuk menentukan arah pada waktu malam. Berdasarkan pengetahuan orang Bugis itu sendiri, mereka ini banyak mengenal rasi bintang yakni, bintoeng balue, bintoeng bola keppang, tanra bajoe, bintoeng bale mangngiweng, bintoeng lambarue, dan lain-lain lagi. Oleh itu, terdapat beberapa tipologi simbol-simbol kosmologi bintang yakni:
- Bintoeng Balue (Centauri Alfa dan Beta)
Bintang ini sering digunakan oleh navigasi Bugis, serta bintang ini agak kelihatan sangat terang dan pada waktu malam ia sungguh kelihatan letika bulan bersinar atau ketika dihalangi awan tipis. Dalam masa yang sama juga, bintang ini juga dikenali sebagai Bintoeng Sallatang ‘bintang selatan’ yang biasanya digunakan untuk berlayar dari utara ke selatan. Nama balue ini berasal dari kata ‘balu’ yang beerti janda kerana tunangnya meninggal sebelum menikah.
- Bintoeng Bola Keppang (Crux)
Simbol-simbol bintang ini juga kelihatanya seperti di mana satu tiangnya lebih pendek dari yang lain, serta tidak jauh di sebelah barat. Bintoeng bola keppang ini juga dikaitkan dengan perubahan cuaca ketimbang navigasi. Bagi orang Bugis itu sendiri, rasi bintang ini dikenali sebagai bintoeng nagae ‘bintang naga’ yang terletak di Bima Sakti.
iii. Tanra Bajoe (Awan Magellan Besar dan Kecil)
Tanra Bajoe ini merupakan satu simbol galaksi-galaksi eksternal yang berukuran kecil di mana terlihat sebagai bintang kabur dengan cukup banyak cahaya terang. Justeru, orang Bugis itu sendiri simbol bintang ini terlihat bulat, putih dan terbentuk dari banyaknya bintang yang dikenali sebagai tanra Bajoe. Pada jabarnya, Tanra Bajoe ini menonjol langit selatan waktu yang berbeza tahun itu, selama musim angit barat Ketika balue kurang berada pada posisi seterusnya.
- Bintoeng Kappala’e dan Bintoeng Balu Mandara (Ursa Majoris dan Ursa Majoris Alfa dan Beta)
Pada perspektif lain pula, simbol bintang ini juga masyhur, dalam kalangan orang Bugis yakni, bintoeng kappala’. Penggunaan rasi bintang ini pada kebiasannya, digunakan secara umum, atau dikenali dalam spesifik yakni, bintoeng balu Mandara.
- Pajjekoe (Orion)
Pajjekoe dalam bahasa Bugis, dikenali sebagai bintoeng rakkaloe’ bintang bajak walaupun orang Bugis Baloboalang menyebut dalam bahasa Makassar ‘pajjekoe bajak. Para nakhoda juga mengandalkan bintang tersebut apabila ingin berlayar ke timur. Namun, bintang ini juga memainkan peranan yang penting sebelum magnetic itu diterima secara luas. Oleh itu, dinyatakan orang tua yang dihormati, kalua pajjekoe dapat terlihat, maka seluruh arah yang ingin dituju dapat diketahui.
Lain daripada itu, ombak dan laut merupakan dua alat tambahan dalam seni menentukan arah dan kecepatan sebuah perahu di atas air, manakala ombak menjadi simbol petunjuk kepada bagi nakhoda tentang angin, haluan kapal dan kedalaman laut. Oleh hal yang sedemikian, bagi orang Bugis itu sendiri suku ini membagi arus menjadi dua kategori yakni, ditemukan di laut dan berhubungan dengan angin muson, dan yang ditemui dekat daratan serta karang yang berhubungan dengan pasang surut dan bulan.
Dari aspek ritual ada satu bahagian buat saya tertarik, yakni ritual ini dilangsungkan apabila muatan sudah dinaikkan dan seluruh kontrak ditandatangani, selama keberangkatan perahu. Jika dipersudutkan dari segi waktu, mereka pada dasarnya menetapkan suatu waktu setelah waktu solat maghrib dan subuh. Pada hari Jumaat, merupakan orang Muslim untuk solat Jumaat. Para nakhoda Bugis, percaya akan berlaku kemalangan dan bahaya jika memulai pelayaran pada waktu tersebut.
Lebih-lebih lagi, reka bentuk perahu orang Bugis itu telah mengalami perubahan dari aspek lambung dan bahagian atas dek. Menurut Horridge, perahu reka bentuk orang Bugis adalah variasi perahu tradisional pajala, yang merupakan istilah ini terbentuk dari bahasa Bugis.
Akhir sekali, perubahan teknologi dari segi kompas dan magnet semakin luas digunakan sejak masa kemerdekaan. Kemampuan membaca dan menulis serta mempunyai pendidikan masa kini menyebabkan anak-anak muda boleh membaca peta laut. Ketersediaan kompas dan peta laut, ini amatlah mudah bagi orang Bugis berlayar lagi jauh dan meningkatkan peluang yang banyak untuk mendapatkan muatan yang banyak.
Rujukan
Gene Ammarell (2014). Navigasi Bugis (diterjemahkan dari Gene Ammarell, Bugis Navigation). Monograph 48/Yale Soutaeast Asia.